Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah
kepercayaan anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan”
(kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan denganPuang Matua, dewa
pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi),Indo’
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa
kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus
dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to
minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan
hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan
bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan
ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
Sumber: http://wikipedia.org
Gadis-gadis Toraja dalam pakaian adat toraja
Suasana lingkungan pada saat menggelar upacara adat Rambu Solo'
Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’.
Rambu Solo’ merupakan acara tradisi
yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk
merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari
mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa
sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian
atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo
(kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan
Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut
diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang
bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian
bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa
penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak
kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara
pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para
tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga
almarhum.
Pemotongan Babi sebagai hewan sembelih yang dipercayai oleh masyarakat Toraja akan menjadi kendaraan orang yang telah meninggal menuju nirwana. semakin banyak hewan sembelih yang di potong semakin cepat pula arwah almarhum sampai ke nirwana.
Sama halnya dengan pemotongan babi, pemotongan tedong atau dalam istilah toraja disebut mattinggoro' tedong juga memiliki tujuan yang sama. Banyaknya jumlah hewan yang disembelih juga menunjukkan status sosial keluarga tersebut.
Mayat dalam peti dibawa oleh masyarakat setempat, yang sebelumnya sempat diadakan foto bersama keluarga. Peti mayat selanjutnya dibawa ke kuburan bangunan keluarga atau gua, tergantung dari keinginan almarhum atau keluarga mengenai lokasi dimana ingin dikuburkan.
Peti Jenazah diletakkan dua meter diatas tanah dan berada didepan Tongkonan.
Pola lingkungan rumah pendudukToraja pada Upacara Adat Rambu Solo', Tongkonan dan Alang yang saling berhadapan, di kelilingi pondokan tempat menggelar acara serta menerima tamu dan ditengah-tengah tempat melalukan upacara ma'badong, pemotongan hewan, dan lain-lain.
Sekian dulu postingan saya, semoga bermanfaat ! :)
Keren ulasan nya . Tetap lanjutkan
BalasHapusSemangat !